JUBILEUM 150 TAHUN HKBP

JUBILEUM 150 TAHUN HKBP

23 April 2009

TURUN HO...JUDAS!

TURUN HO…JUDAS!

 

Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."   (Yakobus 4 : 6)

 

 

Kalau di bona pasogit, seseorang yang menjadi Parhalado (pelayan) di Gereja, yaitu Sintua (Penatua Gereja) memiliki kewibawaan tersendiri dibanding jemaat maupun masyarakat biasa. Tempat duduknya pun di Gereja biasanya di depan dan tersendiri. Bicaranya selalu di dengar dan dalam acara-acara adat maupun kebaktian doa (partangiangan) yang dilaksanakan di rumah-rumah, selalu diperhatikan, tempatnya duduk harus ditengah (dijuluan) dan tikarnya khusus, “…di son ma hamu hundul sintua nami…” kata yang punya rumah maupun jemaat, biarpun  sedang tidak bertugas membawakan acara. Apalagi kalau sintua yang bersangkutan termasuk pula “si suan bulu” alias barisan orang-orang dulu yang (menganggap dirinya) sebagai pendiri gereja. Omongannya adalah yang selalu benar, tidak pernah salah. Meminta maaf adalah suatu hal yang sangat “bergengsi”.

 

Begitulah yang terjadi dengan Bapak-nya si Tiur. Beliau adalah seorang sintua Gereja HKBP di suatu luat di Tapanuli. Beliau juga termasuk sisuan bulu di gereja tersebut. Walaupun sudah termasuk uzur dan suka lupa alias pikun,…bawaannya selalu pingin tampil, berwibawa dan omongannya pun dibuat seolah-olah tegas. Pendeta maupun guru jemaat pun”harus bisa” diaturnya. Suatu ketika yang menjadi tuan rumah (na manjabui) partangiangan lingkungan adalah keluarga Pendeta. Kebetulan Guru Jemaat (guru huria) yang harus bertugas membawakan khotbah di partangiangan itu ada urusan ke Kantor Pusat di Pearaja-Tarutung sehingga harus digantikan. Kalau pak Pendeta tidak mungkin berkhotbah di partangiangan yang dilaksanakan di rumahnya sendiri. Hal ini menjadi pembicaraan di Bilut Parhobasan (konsistori) Gereja di antara sesama sintua. Tapi dengan suara yang lantang, bapak si Tiur berbicara, “au ma annon tu si, sarupa do dijabu ni pandita nang jabu ni ruas, aman ma i…..”  (akulah nanti kesitu, samanya di rumah pendeta maupun di rumah jemaat, aman lah itu). Tanpa ada yang membantah, jadilah bapak si Tiur yang berkhotbah di partangiangan di rumah Pendeta.

 

Tibalah hari dan waktu partangiangan dilaksanakan. Biasanya kalau di rumah Pendeta maupun Guru, yang mengikuti selalu ramai. Parhalado pun hadir semua. Si Tiur duduk di sebelah bapaknya, karena bapak-nya duduk paling ujung di barisan Parhalado. Selesai menyanyikan beberapa ende dan berdoa, tibalah giliran bapak si Tiur untuk berkhotbah.

 

Topik khotbah pada saat itu adalah mengenai Zakheus, ketika Yesus memasuki kota Yerikho. Dengan suara yang keras dan penuh semangat amang sintua kita ini berkhotbah, “Jadi…di hamu angka dongan, di tingki dibege si Judas naeng mamolus ma Yesus…manaek ma ibana tu sada hau galagala na timbo, anggiat boi diida Ibana…” mendengar hal ini sadarlah si Tiur, bapaknya sudah salah. Lalu di tarik-tariknya celana bapaknya, seraya berkata setengah suara (tapi masih terdengar jemaat lainnya): “ndang si Judas, Bapa…sala do i, si Sakheus do. Tersadarlah bapak si Tiur, tapi bukannya meminta maaf dan mengulangi, …malah kemudian berkata dengan cueknya, “oh…olo…alai ro ma si Sakheus sian toru ni hau i mandok tu si Judas,…turun ho Judas! Ai ndang ho aturanna na manaek tu hau i, au do…na pamalo-maloon do ho…”

(jemaat lainnya sambil senyum simpul) : #%?*^_+@?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar