JUBILEUM 150 TAHUN HKBP

JUBILEUM 150 TAHUN HKBP

13 April 2009

KE KRISTENAN DAN POLITIK


Kita baru saja melewati Pemilu Legislatif. Pemilihan Umum yang akan mendudukkan "wakil-wakil rakyat" di DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, maupun para Senator (DPD). Tentu saja sebelum Pemilu Legislatif diadakan,  banyak nuansa politik yang mewarnai-nya. Salah satunya adalah pro kontra masyarakat terutama jemaat gereja tentang "Gereja Ber-Politik Praktis" maupun "Pelayan Gereja Ber-Politik".

Penulis sendiri ketika hendak memberikan "komentar" atas "posting tulisan" pada salah satu "Blog" milik seorang Pendeta yang terkenal, menjumpai satu komentar dari seorang Ibu yang memberikan pendapatnya tentang seorang Pendeta perempuan di Gereja-nya yang mencoba untuk "berkampanye", sehabis kebaktian Minggu, sehingga Ibu tersebut urung untuk melaksanakan "Sakramen Perjamuan Kudus" pada Jumat Agung, mengingat yang melayaninya dapat dipastikan Pendeta perempuan tersebut, dan karena Ibu tersebut kadung tidak suka atas sikap Pendeta perempuan tersebut akhirnya memilih untuk melakukan Kebaktian Jumat Agung dan Sakramen Perjamuan Kudus di Gereja lain, dengan alasan klise "ingin lebih kusuk". 

“Politik itu kotor!”  “Gereja tidak boleh berpolitik!”

Demikianlah sekelumit komentar-komentar yang sering dan umum terlontar baik dari mulut kalangan rohaniwan dan para gerejawan, maupun mulut jemaat biasa.  Sedikit banyak komentar-komentar tersebut ada benarnya sebab harus diakui dalam banyak segi, sekarang ini kehidupan gereja marak diwarnai oleh budaya berpolitik.  Dari pemilihan pengurus organisasi intra gerejawi (atau komisi) sampai pemilihan Ketua Sinode atau Pimpinan Organisasi Gereja, lazim terdengar penggunaan stratagem-stratagem politik.  Pemilihan para penatua dan diaken sebagai anggota kemajelisan jemaat pun dalam banyak gereja tidak lagi memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Paulus dalam 1 Timotius 3 dan Titus 1:5-9.  Tentu kita tidak perlu malu-malu mengakui, melainkan sudah “TST”: Tahu Sama Tahu, kalau sebenarnya syarat utama bagi anggota majelis adalah “STU”: Status (baca: jabatan), Tingkat Sosial dan Uang.  Pada akhirnya di gereja terbentuk kaum elit agamawi yang terpandang, tersohor dan tak tersentuh.  Bahkan saat jelas-jelas kaum elit tersebut terbukti melakukan dosa dan mempermalukan nama Tuhan, tidak ada disiplin atau siasat gerejawi diberikan.  Namun lain soal tatkala anggota jemaat biasa (baca: bukan elit) yang melakukan dosa.  Belum lagi dosanya terbukti, ia sudah menjadi bahan cemoohan dan gosip di seantero gereja.  Ironis, gereja yang selama ribuan tahun telah menjadi suar yang memancarkan terang pengharapan kepada dunia yang gelap, hampir karam dan butuh kasih, telah cenderung telah menjadi tempat di mana kaum marginal dan lemah makin dipinggirkan dan diabaikan.  Gereja telah menjadi tempat bercokolnya kaum elitis, politisi rohani, yang suka dengan  status quo dan bermental mediocre atau berpuas diri.  Mereka pandai menghibur jemaat miskin dengan embel-embel hidup kekal, hidup bahagia dan tentram di negeri nun indah di sana, namun mereka selalu menghabiskan waktu dengan liburan ke luar negeri nun indah di sana, bersikap hidup kapitalis-hedonis, mengutamakan pembangunan gereja dan sarana pendukung berbiaya milyaran,  tanpa peduli dengan sesama warga gereja yang makan hanya sekali sehari, hidup di bawah atap nipah, berlantai tanah dan berdinding gedhek dan berjamban (maaf) sepotong kayu bambu yang ditanam di tanah.  Perhatikan saja penggunaan dana-dana gereja dari persembahan.  Berapa persen sih jumlah dana-dana itu yang sungguh-sungguh menyentuh kehidupan jemaat secara kongkrit?  Bukankah kebanyakan dipakai untuk menyediakan sarana transportasi, sarana ibadah yang lebih layak: pendingin ruangan, kursi yang lebih bagus, gedung yang lebih modern dan canggih, yang kesemuanya merupakan simbol-simbol kapitalis dan bentuk penyesuaian dengan gaya hidup kaum elitis sehingga kalau mereka masuk gereja mereka dapat merasa seperti di rumah sendiri?  Pernahkah kita bertanya-tanya bukankah ada banyak anggota jemaat yang jadi sungkan masuk gereja sangking lux-nya perabot-perabot yang ada di dalamnya?

Kondisi ini makin diperparah dengan maraknya rohaniwan yang nimbrung bangun karir dan popularitas lewat panggung politik praktis.  Dengan mengutip bolak-balik ayat-ayat Alkitab secara sembarangan tanpa memperhatikan konteks sosio-historisnya, banyak Pendeta yang akhirnya ikut-ikutan terjun ke dunia politik.  Dampaknya tentu sudah bisa kita duga bersama.  Pelayanan pastoral serta pelayanan katekisasi jemaat tidak terperhatikan sebab gembala sibuk kampanye dan melakukan lobi politik, mimbar gereja menjadi tempat kampanye dan sebaliknya mimbar kampanye menjadi tempat berkhotbah (nah lho!!), dan masih ada banyak lagi konsekuensi negatif yang terjadi dalam kehidupan berjemaat, terutama mengingat budaya politik negara kita yang belum dewasa.  Tidak heran penulis sering menjumpai kekecewaan jemaat-jemaat awam terhadap pelayanan gerejawi yang tidak berjalan dengan baik karena tugas penggembalaan yang terabaikan.  Penulis secara pribadi sangat tidak berkeberatan jikalau ada pendeta yang sungguh-sungguh terpanggil dalam dunia politik, tapi mengingat konteks budaya politik negara kita, kondisi penatalayanan gereja yang harus diakui banyak kelemahan dan realitas penganiayaan gereja yang sangat buruk yang membutuhkan figur gembala sebagai penghibur dan stigma negatif dari jemaat terhadap rohaniwan yang telah terlibat dalam politik, maka ada baiknya kita mendengar nasihat bijak dari pengamat politik, J. Kristiadi, “Sebaiknya para pastor dan pendeta mengatur umat saja, tidak perlu terjun ke politik. Kalau terjun ke politik sebaiknya mereka melepas posisi sebagai gembala.”

Tapi kenyataan yang menyedihkan dari munculnya banyak kaum elitis gereja dan rohaniwan yang “mempolitisasi gereja dan mengerejanisasi politik,” jangan sampai membuat kita akhirnya apatis dan ogah berbicara dan bergaul dengan realitas politik yang ada di sekitar kita,  sebab harus diakui bahwa Alkitab, firman Tuhan kita sebenarnya sangat bernuansa politik.  Mohon para pembaca yang budiman tidak salah menafsir penulis dalam hal ini.  Lewat pernyataan barusan, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kekristenan adalah agama politik.  Yang penulis maksudkan dengan pernyataan bahwa Alkitab sangat bernuansa politik adalah bahwa sejarah umat Allah yang tertulis dalam kurun waktu ribuan tahun tidak pernah lepas dari konteks politik bangsa-bangsa yang melingkupinya dan selama ribuan tahun itu pula umat Allah selalu menggumuli berita Alkitab bahwa hanya YHWH-lah satu-satunya Raja semesta dengan realitas silih bergantinya kuasa-kuasa politik mencengkram dunia.  Alkitab bukanlah sebuah buku yang berisi catatan-catatan pengalaman kerohanian-asketis seorang pertapa yang hidup jauh dari dunia nyata.  Ia merupakan kalam Allah yang memuat pergumulan rohani umat Allah di tengah-tengah dunia yang memiliki beragam realitas sosial dan politik. 

Sikap ogah dan pongah terhadap perihal realitas politik inilah yang menurut penulis, pada akhirnya memunculkan banyak model kekristenan dualistis-dikotomis bermental eskapis yang sangat menekankan spiritualitas pro me (demi saya) dan melakukan pengabaian terhadap kenyataan dunia sekitar.  Tidak heran novel karya Tim Lahaye dan Jerry Jenkins berjudul Left-Behind, yang berdasar pada teologi dispensasionalisme menjadi bestsellers.  Dan tidak heran pula kekristenan gnostik mulai marak lewat karya novel Dan Brown, The Da Vinci Code dan penerjemahan Injil Yudas.   Jargon-jargon Kristen seperti pengangkatan (rapture), surga, hidup kekal, laris manis di mana-mana dan diteriakkan di sana-sini sebagai bentuk penyelesaian singkat atas segala masalah yang terjadi di muka bumi.  Ini pulalah yang membuat peran kekristenan di luar tembok gereja nyaris tak terdengar karena gereja emoh bersentuhan dengan realitas-realitas itu.  Gereja terus sibuk dengan urusannya mempersiapkan diri menyambut “hidup kekal” itu tanpa peduli dunia ini terus terseret hanyut dibawa arus kebinasaan.  Ya, surga dikejar, dunia ditinggalkan.  Tapi, bukankah ini adalah dunia Bapa yang diciptakan “sungguh amat baik,” yang harus dikelola sebaik-baiknya?  Dan bukankah perintah itu belum pernah ditarik oleh Tuhan sampai hari ini? Lha, kenapa kok sekarang banyak orang Kristen yang sudah ingin kesusu segera ke surga? (Kej. 1:31).

Kita tentu tidak bisa mengabaikan banyaknya kisah opresi sosial yang dilakukan kalangan berkuasa kepada kaum lemah, kisah dominasi politik yang silih berganti dari negara-negara super power dan coup d’ état yang sering mewarnai suksesi kepemimpinan, perselingkuhan politik antara istana raja dan bait Allah pada zaman para nabi yang kesemuanya sangat bernuansa politik; dan jangan lupa dalam pelayanan-Nya,  Yesus sendiri banyak berhadapan dengan tantangan dari kelompok-kelompok religius-politis yang sangat kuat saat itu, seperti golongan Farisi, Saduki, Zelot, Herodian dan pemerintah Romawi.  Disamping itu kita juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada banyak terminologi Alkitab yang selama ini selalu dianggap sebagai istilah “rohani” sebenarnya adalah terminologi yang lazim dipakai dalam dunia politik seperti, misalnya: Mesias dan Kerajaan Allah.  Bahkan ayat-ayat yang selama ini dianggap hanya berbicara soal keagamaan saja, sebenarnya punya nuansa politis yang kental:

 

 

Ia [Tuhan] menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah (Lukas 1:52)

 

Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21 dan par.).

 

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.  Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi (Matius 5:13-14).

               

 

Dengan demikian sebenarnya tidak ada pemisahan antara ranah rohani dengan ranah politik pada kehidupan keagamaan umat Tuhan di Alkitab. 

Dari analisis singkat ini penulis berkesimpulan bahwa sikap dualisme sempit kekristenan kontemporer yang memisahkan surga dan dunia merupakan ancaman yang serius bagi kekristenan.  Bukan saja karena ajaran ini tidak bersumber dari pengajaran alkitabiah yang menyejarah tapi juga karena dalam aplikasi praktisnya konsep ini mengebiri dan menyempitkan arti misi Kristen menjadi sekadar memindahkan jiwa-jiwa ke surga.  Umat Kristen yang sejati harus mengupayakan agar surga dan bumi itu menyatu dalam harmoni yang indah karena itulah doa yang Yesus ajarkan, yang juga merupakan antisipasi terhadap realitas eskatologis yang akan kita nikmati kelak.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar