JUBILEUM 150 TAHUN HKBP

JUBILEUM 150 TAHUN HKBP

29 April 2009

Babi-tta do on amang....

BABI-TTA DO ON AMANG….      

 

Mahap ma disi tondingku, songon na mangan tabotabo dohot na talmis, jala las roha ni bibir ni pamanganku mamujimuji. (Psalmen 63 : 6)

 

 

Khabar mengenai virus “Flu Babi” yang lagi mewabah di Benua Amerika dan menjadi pembicaraan hangat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia…saya jadi teringat kejadian duapuluh lima tahun yang lampau di kampung (sekitar tahun 80-an),  tempat Ompung (kakek/nenek) saya tinggal di suatu desa sebelum kota Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.

 

Dulu sewaktu saya masih bersekolah, mulai kelas 5 SD sampai SMP, sering berlibur  ke tempat ompung, apalagi kalau liburan naik kelas yang rata-rata hampir satu bulan lamanya. Dari Medan, kalau tidak bersama dengan orang tua, saya dititipin ke Bus “MAKMUR”, “RISMA” atau “BINTANG UTARA” sampai ke Sibolga, setelah itu nanti supir atau kenek-nya (kondektur) yang menaikkan/menitipkan saya ke Bus yang menuju Barus di Terminal Sibolga. Kalau sudah di Bus yang menuju Barus, saya sudah tau dimana harus turun untuk ke rumah Ompung. Di desa itu, selain bermain-main seharian seperti anak-anak kebanyakan, saya juga membantu ompung di sawah. Menjelang habis liburan, Bapak datang menjemput atau diantar Ompung doli (kakek) pulang ke Medan

 

Pada waktu itu yang namanya “babi”, bebas berkeliaran. Ada juga beberapa orang yang membuat kandang babi-nya, tapi kebanyakan masyarakat di kampung itu membiarkan babi-nya bebas berkeliaran mencari makanannya sendiri. Kalau di kampung, semua hewan babi adalah yang berwarna hitam dan langsing-langsing, satu sama lain susah membedakannya kecuali pemiliknya, tidak seperti babi putih yang gemuk dan berlemak karena diberi makan dedak (ampas penggilingan padi).

Babi-babi yang berkeliaran ini paling suka ngelahap “kotoran manusia”, sehingga kalau kita pergi buang air besar alias BAB ke sungai, ke dekat pancuran (pemandian umum) atau di persawahan (karena di rumah-rumah tidak ada yang namanya kamar mandi), harus selalu memegang bambu kecil, lidi atau ranting kayu untuk menghalau babi yang datang mendekat. He…he…khan risih juga BAB ditungguin sama itu babi. Apalagi klo BAB-nya malam (waktu itu listrik belum masuk, penerangan masih pake lampu teplok atau lampu gas pake kaos alias “strongking”)…tiba-tiba perasaan ada yang nempel di bokong, ketika dilihat ke belakang ternyata moncong babi itu udah nempel mengendus-endus.

 

Suatu ketika ada pengumuman dari Kantor Kecamatan yang isinya menghimbau penduduk Kecamatan Barus sekitarnya agar mengkandangkan ternak babi peliharaannya. Dan tidak boleh lagi berkeliaran. Pengumuman itu ditempelkan di tiap lapo (kedai tempat minum teh/kopi), atau di pakter (kedai tempat minum tuak) di desa itu. Apabila ada ternak babi yang masih kedapatan berkeliaran setelah batas waktu yang ditentukan, dianggap tidak ada pemiliknya sehingga akan dibunuh oleh tim dari kantor kecamatan dan masyarakat juga bebas memburu dan membunuhnya serta mengambilnya, tanpa ada yang merasa keberatan. Karena takut dengan pengumuman itu, mulailah masyarakat membuat kandang babi-nya masing-masing, tetapi masih ada juga beberapa penduduk yang membandel dan tidak perduli.

 

Suatu sore, sehabis pulang dari sawah bersama teman-teman, salah seorang dari mereka yang bernama “Saihot” tiba-tiba melihat seekor babi berkeliaran dekat lapangan bola yang berada di pinggir desa itu. Dari antara kami, Saihot termasuk anak yang berbadan tegap dan lincah. Dengan cepat ditebangnya sebatang bambu sedang secara meruncing yang tumbuh dipinggir lapangan bola itu dengan parang yang dibawanya dari sawah dan mulai mengejar babi itu sambil berteriak “adong babi…adong babi” (ada babi…ada babi). Kami pun ikut-ikutan mengejar tapi kalah cepat dengannya. Babi itupun  berlari dengan  liar menghindari kejaran Saihot sambil menjerit-jerit (ber-nguik-nguik) melewati sungai dangkal lewat lapangan bola itu menuju ke jalan raya yang membelah desa itu. Mendekati jalan raya babi itu tersudut  dan dengan cepat si Saihot menghujamkan bambu yang dipegangnya  tepat di lambung babi itu dan babi itupun terkapar berlumuran darah. Nga dapot…nga dapot  (sudah dapat…sudah dapat) teriak Saihot kesenangan. Orang-orang pun ramai mendekat. Saihot pun tersenyum bangga membayangkan babi itu bakal miliknya dan bakal makan daging babi nanti malam. Dengan sigap diikatnya babi itu di batang bambu tadi dan mengajak kami ramai-ramai mengangkatnya ke rumah-nya yang berjarak sekitar 50 meter dari situ. Masih dihalaman rumahnya, dia sudah  berteriak…Bapa…Bapa….Omak…dapot au babi! (Bapak…Bapak…Emak…aku dapat seekor babi). Mendengar itu dengan tergopoh-gopoh, Bapak dan mamak si Saihot ke luar dari rumahnya menjumpai kami. Babi sian dia…(babi dari mana) langsung bapaknya bertanya. Kami menurunkan babi itu ke tanah, lalu kata si Saihot kepada orangtuanya, “Bereng ma Bapa-Omak, tarbereng au nangkin babi on di parbalan-an, manigor hulele sahat tu pinggir  dalan na tigor an, dapot au, langsung hupamate. Jago do au, khan? Lompa omak ma asa mangan juhut babi hita.  *(Lihatlah Pak-Mak, kulihat tadi babi ini di lapangan bola sana, langsung kukejar sampe ke pinggir jalan yang lurus itu, dapatku, langsung kubunuh. Hebat aku, khan? Mamak masaklah biar makan daging babi kita).

Bapak dan mamak si saihot pun memperhatikan babi itu dengan seksama…tiba-tiba saja mamak si Saihot berkata dengan sedih, “Memang jago do ho Amang…dapot ho do babi on, alai bereng ma nei…babi-ta do on na dihujur mon…na lupa do au nangkin pamasukhon on tu tombara ni jabunta…*(Memang jago-nya kau, nak…bisa kau dapat babi ini, tapi lihatlah…babi kita-nya ini yang kau tombak ini…yang lupa nya aku tadi memasukkannya ke kolong rumah kita…)

  

 

1 komentar:

  1. Horas, Amang Sintua nami.

    Selamat melayani ma di amang ate.
    Tulisannya bagus, ringan dan inspiratif.

    Cst. Sampe Sitorus, SE

    BalasHapus